Tim Pembahas Ranperda Perhutanan Sosial Komisi II DPRD Sumbar Lakukan, Studi Banding ke DIY
DIY (17/10/2023), –Studi Banding Tim Pembahas Rencana Peraturan Daerah (Ranperda) Perhutanan Sosial ke Jogjakarta ini, bahagian tidak terpisahkan dari menyempurnakan materi penyusunan Ranperda yang sedang dibahas Komisi II DPRD Sumbar.
Rilis yang diterima redaksi, menyebutkan bahwa ada beberapa masukan yang berharga kita dapatkan di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY ini.
Hal ini disampaikan Ketua Komisi II DPRD Sumbar Mochlasin, disela-sela kegiatan kunjungan Studi Banding Tim Pembahasan Ranperda Perhutanan Sosial Provinsi Sumatera Barat di Dinas LH dan Kehutanan Provinsi Jogjakarta, Senin (16/10/2023).
Ketua Komisi II DPRD Sumbar katakan, keluarnya Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial dan Permen LHK 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial adalah aturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 247 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
“Kegiatan Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat Setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan kemitraan kehutanan,” kata Mochlasin.
Mochlasin tambahkan, hingga kini, pemerintah memiliki 2 agenda besar yang menjadi sorot utama terkait dengan pengelolaan hutan, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya disekitar hutan dan juga penciptaan model pelestarian hutan yang efektif.
“Karena itu Ranperda Perhutanan Sosial inisiatif DPRD Sumbar ini bagaimana perda ini nantinya dapat memberikan dorongan percepatan mencapai tujuan pemerintah memastikan bahwa sarana pengentasan kemiskinan masyarakat,”
“Khususnya di sekitar hutan dapat dilakukan dengan model yang menciptakan keharmonisan antara peningkatan kesejahteraan dengan setaraan dan pelestarian lingkungan. Program ini adalah Program Perhutanan Sosial di Sumatera Barat,” katanya.
Program Perhutanan Sosial sendiri kata Mochlasin bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola pemberdayaan dan dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian.
Program Perhutanan Sosial akan membuka kesempatan bagi masyarakat di sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui maka masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari hutan dengan cara-cara yang ramah lingkungan.
“Mudahan setelah ini disempurkan lagi, besoknya kita sudah dapat melakukan finalisasi ke Kementerian Dalam Negeri yang berkonsultasi sebelumnya ke Kementerian LHK di Jakarta,” imbuhnya.
Kabid Planologi, Produksi, Perhutanan Sosial dan Penyuluhan Dinas LHK DI Jogjakarta Ir. Niken Aryati, M.P menyampaikan kelompok perhutanan sosial DIY dimulai pada Tahun 2007 dengan terbitnya IUPHKm.
Terdapat di 2 kabupaten yaitu Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo, dan tersebar di 12 kecamatan, terdiri dari 2 skema PS yaitu Hutan Kemasyaratan (HKm) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
“HKm terdiri dari 42 KTH pemegang izin dengan total luas hutan : 1.284,05 Ha, dengan perincian : Gunungkidul (35 KTH –> 1.087 Ha), Kulon Progo (7 KTH –> 197 Ha), HTR terdiri dari 3 koperasi pemegang izin (di dalamnya terdapat 5 KTH) dengan total luas hutan : 327,149 Ha.”, ujarnya.
Niken Aryati juga tambahkan, elompok perhutanan sosial di DIY (HKm dan HTR) membentuk 2 paguyuban yang rutin melaksanakan pertemuan setiap 3 bulan sekali secara swadaya, yaitu: Bukit Seribu : paguyuban HKm dan HTR di Kabupaten Gunungkidul dan Lingkar : paguyuban HKm di Kabupaten Kulon Progo.
“Ada usaha tumpang sari tanaman pangan/food estate : luas tanaman 20.239 ha (bukan luas hamparan), Menyumbang komoditas pertanian yaitu jagung : 9.737 ton, ketela : 20.331 ton, kacang : 1.679 ton, kedelai : 815 ton, padi : 614 ton, HMT : 13.475 ton.
Bila dinilaikan dalam rupiah produksi tersebut senilai 60 miliar), dengan pelaku pesanggem (petani hutan) Selain tanaman pangan juga berkembang usaha budidaya tanaman bawah tegakan seperti empon-empon dan umbi-umbian yang dipasarkan secara luas,” ungkapnya.